Mahasiswa Undip Sulap Limbah Kulit Petai Jadi Obat Penyembuh Luka


SEMARANG - Diabetes Mellitus di Indonesia mengalami peningkatan dari 6,9% (2013) menjadi 8,5% (2018). International Diabetes Federation (IDF) Atlas tahun 2017 menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-6 dunia dengan jumlah diabetesi sebanyak 10,3 juta jiwa dan diperkirakan 16,7 juta jiwa mengalami diabetes pada tahun 2045 pada usia 20-79 tahun. Salah satu komplikasi DM adalah ulkus diabetik. Luka pada diabetes diketahui memiliki waktu penyembuhan yang lebih lama.

Di sisi lain telah diketahui bahwa kulit petai ternyata memiliki kandungan flavonoid. Flavonoid memiliki manfaat dalam menyembuhkan luka. Kulit petai juga pernah diteliti mampu menurunkan kadar glukosa darah tikus.

Berangkat dari dua hal tersebut, tiga mahasiswa Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Diponegoro (Undip) yang terdiri dari Naura Safinata Ende, Naomi M Sihombing, dan Tangkas Mukti Priguna berinisiatif mengubah limbah kulit petai menjadi krim. Krim ekstrak kulit petai mereka beri nama Krim KUTAI. Bentuk sediaan krim dipilih karena cara penggunaannya yang mudah sehingga cocok diaplikasikan pada luka luar.

Melalui Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) dengan judul “Krim KUTAI (Kulit Petai) sebagai Penyembuh Ulkus Diabetik pada Tikus Wistar (Rattus novergicus)” di bawah bimbingan bu Indah Saraswati, S.Si, M.Sc (Dosen FK Undip) mereka melakukan penelitian selama 1,5 bulan dari mulai pembuatan krim sampai meneliti efek krim tersebut pada tikus.

Tikus yang digunakan dalam penelitian ini selain dibuat luka juga direkayasa menjadi tikus diabetes. Penelitian dilakukan di Laboratorium Hewan Coba Fakultas Kedokteran Univeritas Diponegoro. Mereka adalah salah satu dari 85 tim PKM Penelitian Eksakta yang berjuang untuk PIMNAS 32 dari Kemenristekdikti.

Penelitian ini menganalisis penyembuhan luka dari perubahan panjang luka, leukosit darah tikus dan gambaran histopatologi kulit tikus. Krim dioleskan selama 10 hari. Oleh karena kandungan flavonoid yang ada di kulit petai, krim KUTAI mampu meningkatkan vaskularisasi dan menurunkan oedem. Hal ini dapat dilihat pada tikus yang diolesi krim KUTAI dapat sembuh dalam 8 hari. Sedangkan tikus yang tidak diberi krim KUTAI belum sembuh sampai hari ke-14.

Harapannya selain menerapkan ilmu kedokteran yang telah didapatkan, penelitian ini juga mampu meningkatkan nilai manfaat dari limbah kulit petai yang biasanya hanya dibuang begitu saja. Peneliti berharap krim KUTAI dapat diteliti dan dikembangkan lebih lanjut lagi.