SEMARANG
(KampusUndip.com)
- Marine Diving Club (MDC) Universitas Diponegoro mengadakan seminar nasional
yang bertemakan “Conservation of Shark and Manta Ray in Central Java” di
Auditorium FPIK Kampus Undip Tembalang, Semarang (1/10). Tujuan utama
diadakanya acara ini adalah untuk mengenalkan kepada mahasiswa akan pentingnya
konservasi bagi hiu dan ikan pari manta yang kian hari kian menyusut jumlahnya
diakibatkan dari penangkapan secara besar-besaran.
Seminar yang juga
didukung oleh NGO WWF- Indonesia ini menghadirkan empat pembicara diantaranya
Dharmadi (Peneliti Balitbang Kelautan Perikanan), Syamsyul Bahri Lubis (KKHL –
KKP), Dwi Ariyoga (Koordinator baycatch dan Sharks – WWF Indonesia) dan Nadine
Chandrawinata (Aktifis Lingkungan – Seasoldier) dan dihadiri oleh sekitar 200
peserta seminar.
Dalam paparannya Dharmadi
menjelaskan, dari 509 jenis hiu di seluruh dunia, sebanyak 150 jenis hiu dalam
kategori terancam hingga mendekati kepunahan. Data dari FAO secara global, saat
ini resiko kepunahan dari tiga perempat populasi hiu dan pari pelagis meningkat
sebagai akibat dari penangkapan yang berlebih (Over Fishing). Selain itu, biologi reproduksi hiu yang lambat juga
menjadi salah satu faktor. Hal ini tentunya menjadi perhatian serius pemerintah
Indonesia, melihat tentunya Indonesia merupakan salah satu suaka terbesar untuk
Hiu maupun Pari Manta.
“Satu kasus Hilangnya
hiu sebagai predator puncak di perairan Karibia mengakibatkan meningkatnya
populasi ikan-ikan herbivora dan omnivora di lokasi tersebut yang mengakibatkan
vegetasi di laut menjadi berkurang sehingga ikan-ikan yang masih muda (juvenil)
dan biota bentik lainnya kehilangan makanan dan tempat perlindungannya. Hal ini
akhirnya berdampak pada kolapsnya ekosistem terumbu karang tersebut,” Papar
Dharmadi.
Syamsul Bahri (Direktorat
KKHL – KKP) mengutarakan fakta-fakta yang terjadi di Indonesia mengenai Hiu dan
Pari Manta, yakni di perairan Indonesia tercatat 117 jenis Hiu, 101 jenis Pari
dan 3 jenis Hiu Hantu, Indonesia termasuk kedalam 5 negara produksi Hiu dan
Pari terbesar di dunia, penangkapan hiu sebagai sumber pendapatan masyarakat
walaupun sebagian besar hiu tertangkap sebagai bycatch (tangkapan samping), sehingga muncul kekhawatiran ancaman
kepunahan hiu dan pari jenis tertentu.
“Sentra produksi
perikanan hiu di Indonesia diantaranya pada daerah Sibolga (Sumut), Muara Baru,
Muara Angke (Jakarta), Pelabuhan Ratu (jabar), Cilacap (Jateng), Prigi (Jatim),
Surabaya (Jatim), Benoa(bali), Tanjung Luar (NTB), dan Kupang (NTT) “ paparnya.
“Arah kebjakan utama
pengelolaan hiu dan pari di Indonesia diantaranya memperkuat basis data
perikanan hiu nasional, menyiapkan regulasi perlindungan jenis hiu rawan
terancam punah, perlindungan habitat penting melalui penetapan kawasan
konservasi, pengurangan by-catch hiu pada perikanan tuna, sosialisasi pembinaan
dan penyadaran masyarakat, pengaturan pemanfaatan/peredaran, serta pengurangan
paktek finning” jelasnya lebih
lanjut.
Adapun strategi dan
rencana aksi nasional pengelolaan (NPOA) hiu dan pari 2016 – 2020 yaitu
menyusun dan mengimplementasikan regulasi nasional untuk mendukung pengelolaan
berkelanjutan sumber daya hiu dan pari, melakukan review status perikanan hiu
pada level nasional, regional, dan internasional, penguatan data dan informasi
perikanan hiu/pari, pengembangan penelitian hiu/pari, penguatan upaya
perlindungan hiu/pari jenis tertentu yang rawan dan terancam punah, penguatan
langkah-langkah pengelolaan, penyadartahuan tentang hiu/pari, penguatan
kelembagaan, dan peningkatan kapasitas SDM.
Wisata Hiu, Solusi atau Ancaman ?
“Di Indonesia, seekor
hiu yang dibiarkan hidup untuk menjadi obyek wisata bahari bisa memberikan
sumbangan devisa sebesar Rp. 300 juta sampai dengan 1,8 miliar per tahun atau
setara dengan Rp. 18 miliar selama ikan itu hidup,“ Dharmadi menjelaskan dalam
penutup paparannya.
Artinya selain hiu
dapat dimanfaatkan dengan cara ditangkap, sisi lain hiu dalam keadaan hidup
memberikan dampak ekonomi yang cukup besar.
Dwi Ariyoga
(WWF-Indonesia) menjelaskan aspek pengelolaan untuk wisata hiu supaya praktik
wisata bahari hiu ini menjadi sebuah solusi untuk upaya pelestarian dan teteap
menghasilkan nilai ekonomi.
“Tidak dipungkiri dengan adanya praktik wisata hiu
ini juga memberikan dampak negatif jika promosi wisata tidak diiringi kesiapan
pegelolaan, kemudian kurangnya pemahaman terkait interaksi satwa dan
memproduksi sampah “ Papar Dwi dalam presentasinya.
“Terdapat diantaranya
beberapa aspek untuk penguatan tata kelola wisata hiu dan manta, dimulai dari
identifikasi lokasi (spot), studi
carrying capacity, pengaturan wisata dan promosi serta monitoring evaluasi.
Supaya praktik wisata hiu ini menjadi sebuah solusi untuk ancaman hiu itu
sendiri dan menekan eksploitasi yang melebihi batas “ jelasnya lebih lanjut.
Pada seminar ini juga
turut dihadirkan public figure yang
juga sebagai aktivis lingkungan Nadine Chandrawinata yang mengajak pada peserta
seminar untuk dapat melakukan aksi-aksi kecil dengan lewat slogan Start with One Thing.
“Banyak yang dapat
kita lakukan baik jika kita menjadi seseorang yang langsung berpartisipasi
dalam wisata bahari maupun tidak. Kita harus menjadi wisatawan yang cerdas
dengan mengetahui dan belajar menghargai keberadaan mereka (hiu/pari). Dengan
memilih operator wisata yang memahami dan menjalankan Code of conduct, yang memahami tata cara berinteraksi dengan satwa,
mengurangi dan tidak membuang sampah dan sembarangan, tidak membeli produk
turunan satwa, dan masih banyak lagi yang dapat kita lakukan untuk menekan
masalah lingkungan ini. Kita pun wajib melakukan praktik-praktik ramah
lingkungan dalam kebiasaan sehari-hari, misal untuk mengurangi produksi sampah,
serta bantu menyuarakan baik secara langsung maupun melalui media sosial untuk
perlindungan hiu dan pari manta,“ ajak Nadine dengan tegas.
Menurut penuturan Uti selaku
salah satu panitia, peserta sangat antusias dalam mengikuti jalanya acara,
dibuktikan dengan berbagai pertanyaan yang banyak diajukan kepada para
narasumber. Selain mendapatkan ilmu yang bermanfaat, untuk beberapa peserta
yang beruntung mereka mendapatkan sebuah dorprize yang diberikan oleh Nadine
Candrawinata disela sesi materinya. (KUC/Jibriel/Nurul)