Oleh : Ervina Yudita Pambudi, D3 Teknik Kimia Undip
2015
Indonesia kaya akan kesenian ,setiap daerah memiliki
karakteristik masing-masing. Di era globalisasi ini banyak kesenian luar negeri
masuk ke Indonesia, tapi sangat disayangkan para pemuda Indonesia lebih
tertarik dengan kesenian luar negeri.
Kesenian Dongkrek termasuk salah satu kesenian yang paling
sedikit peminatnya di kalangan pemuda Indonesia. Kesenian Dongkrek lahir
sekitar 1867 di Kecamatan Caruban yang saat ini namanya berganti menjadi Kecamatan
Mejayan, Kabupaten Madiun.
Dongkrek dipopulerkan pada tahun 1920 oleh Raden Bei Lo
Parawirodipura yang saat itu menjadi demang yang membawahi lima desa di
Caruban. Konon pada sektitar tahun 1879 rakyat Desa Mejayan terkena wabah
penyakit mematikan. Menderita sakit saat siang dan sorenya meninggal. Atau,
sakit pada pagi hari, malam harinya seketika meninggal dunia.
Dalam kesedihannya Raden Prawirodipuro melakukan meditasi dan
bertapa di wilayah Gunung Kidul Caruban. Ia kemudian mendapatkan wangsit untuk
membuat semacam tarian atau kesenian yang mampu mengusir balak.
Wangsit yang didapat menggambarkan para punggawa kerajaan roh
halus atau pasukan genderuwo menyerang penduduk Mejayan akan dapat diusir
dengan menggiring mereka keluar dari desa. Maka, dibuatlkan semacam kesenian
yang melukiskan fragmentasi pengusiran roh halus yang membawa pagebluk
tersebut.
Komposisi pemain fragmen satu babak pengusiran roh halus terdiri
dari barisan buta (dari bahasa Jawa yang berarti buto atau raksasa), orang tua
sakti, dan dua perempuan paruh baya. Perempuan ini menyimbolkan kondisi rakyat
yang lemah karena dikepung oleh para pasukan buta Kala.
Sebelum pasukan buta berhasil mematikan para perempuan, muncul
sesosok lelaki tua sakti yang dengan tongkatnya berhasil mengusir para barisan
roh halus untuk pergi menjauh.Selanjutya terjadi peperangan cukup sengit antara
rombongan buta dengan orang tua sakti, yang dimenangkan oleh si lelaki sakti.
Rombongan butayang kalah akhirnya menurut dan patuh.
Si orang tua sakti yang didampingi dua perempuan menggiring
pasukan buta Kala keluar dari Desa Mejayan. Sirnalah pagebluk yang menyerang
rakyat Desa Mejayan selama ini. Alat korek berupa kayu berbentuk bujur sangkar
dengan satu ujungnya terdapat tangkai kayu bergerigi yang saat digesek berbunyi
’krek’.
Dalam perkembangannya digunakan pula alat musik lain berupa
gong, kenung, kentongan, kendang, dan gong berry sebagai perpaduan budaya
Islam, budaya China, dan kebudayaan masyarakat Jawa pada umumnya.
Dalam tiap pementasan Dongkrek, para penari akan menggunakan
tiga jenis topeng, yaitu topeng raksasa atau buta dengan muka seram, topeng
perempuan yang sedang mengunyah kapur sirih, serta topeng orang tua lambang
kebajikan.
Sangat disayangkan kesenian Dongkrek ini kurang populer bahkan
di masyarakat Madiun sendiri. Banyak yang tidak mengetahui mengenai kesenian
satu ini. Itulah kenapa pada tahun 1973 Dongkrek coba kembali digali dan
dikembangkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Madiun dan Propinsi
Jawa Timur.
Tahun 1980 kembali diadakan garap tari oleh Suwondo, Kepala
Seksi Kebudayaan Dinas P dan K Kabupaten Madiun. Namun, kemudian semakin lama
kesenian Dongkrek ini semakin tenggelam dan menjadi tak terkenal.