Saat yudisium tiba, tidak ada
yang lebih penting buat mahasiswa selain nilai. Tiap mahasiswa pasti penasaran
dengan indeks prestasi komulatif yang diperolehnya.
Sangking penasarannya, banyak
mahasiswa yang begadang sampai jam 00.00 supaya segera lihat nilainya. Gagal
loading, coba lagi. Gagal lagi, coba lagi.
Perasaan senang hinggap kalau IPK
kita cumlaude. Dengan gaya sok rendah
hati yang dibuat-buat, kita akan memposting transkrip nilai di Facebook.
Tapi kalau IPK kita jeblok,
dengan nada tegar yang dibuat-buat kita akan nulis status “IPK bukan
segalanya.” Atau, “Yang penting adalah proses mendapatkannya.”
Hak untuk bangga atau tidak
terhadap IPK adalah hak personal. Tapi, ada baiknya kalau mahasiwa merenungkan
15 pertanyaan ini :
1. Bagaimana IPK Dibuat?
Di dunia akademik, metedologi
adalah hal penting yang tak boleh diabaikan. Dalam penelitian, misalnya,
peneliti harus pertanggungjawabkan sumber dan analisis datanya. Dari mana data
berasal? Bagaimana data itu diolah dan dianalisis?
Idealnya, pertanyaan serupa juga
perlu diungkapkan terhadap IPK. Bagaimana dosen memunculkan angka antara 0
sampai 4 itu di kartu hasil studimu?
Secara normatif, skala 0 sampai 4 pada IPK
adalah akumulasi penilaian kuantitatif dari nilai tugas, nilai ujian tengah
semester, dan ujian akhir semester. Ketiga komponen itu dijumlahkan dengan
rasio bobot tertentu. Ada dosen yang membuat rasio 1:1:1, ada yang 1:2:3, ada
juga yang 2:1:2
Tapi, apakah penghitungan itu
dilakukan secara ketat? Hanya Tuhan dan dosenmu yang tahu.
2. Mengapa Universitas Perlu Membuat IPK?
Universitas menggunakan IPK
sebagai alat ukur. Alat ukur biasanya menghasilkan angka atau tanda lain yang
merepresentasikan sebuah kondisi. Angka atau tanda ini kemudian dibaca untuk
mengetahui kondisi aktual. Dalam hal IP, kondisi yang ingin diketahui adalah
perkembangan performa akademik mahasiswa.
Dengan IP, universitas bisa
membuat kebijakan yang sesuai kebutuhan mahasiswa. Misalnya, mahasiswa ber-IPK rendah
harus mengikuti pendalaman. Adapun mahasiswa IPK tinggi boleh mengikuti kuliah
lanjutan.
3. Mengapa di Dunia Ini Harus Ada IPK?
Para pemikir positivistik zaman
dulu percaya bahwa realitas hanyalah sesuatu yang dapat dilihat, diamati,
diukur. Di luar sesuatu yang dilihat hanyalah takhayul, omong kosong, atau
ilusi.
Keyakinan ini tampaknya diadopsi
oleh para akademisi beraliran sama. Mereka hanya percaya sesuatu ada jika
tampak, terlihat, dan terukur.
Mereka percaya kemampuan,
pemahaman, dan penghayatan mahasiswa terhadap sebuah konsep juga harus terukur.
Mereka baru percaya bahwa seseorang mampu, paham, atau menghayati jika ada
indikatornya.
Keyakinan semacam inilah
mendorong para dosen membuat alat ukur dengan berbagai alat tes. Dulu orang
percaya soal pilihan ganda cukup akurat. Belakangan, orang yakin soal pilihan
ganda adalah kekonyolan sehingga perlu ditinggalkan.
Untuk menggantikan itu, para
dosen membuat alat ukur lain, misalnya ujian lisan, menulis makalah, atau
portofolio.
4. Apakah IPK Cukup Akurat untuk Menilai Prestasi Mahasiswa?
Jika digunakan untuk mengukur
aspek kognitif, tes-tes tertulis mungkin cukup memadai. Tapi, tes-tes semacam
itu tidak bisa membaca aspek-aspek kemanusiaan lain, misalnya keyakinan,
penghayatan, dan pengamalam. Padahal ketiga hal itu merupakan tujuan tertinggi
pendidikan.
Ada sebuah kasus. Seorang guru
agama Islam menggelar ujian lisan dengan meminta siswanya menghafal surat
Al-Maa’uun. Siswa A mendapat nilai bagus karen hafal surat pendek itu. Tapi
siswa B justru mendapat nilai jelek. Siswa B tidak hafal surat Al-Maa’uun,
meskipun ia hafal surat Ali Imron.
5. Benarkah Orang Tua Kita Senang IPK Kita Tinggi?
Tiap orang tua berharap anaknya
jadi orang baik – apa pun profesinya. Jika anaknya kuliah, tentu saja orang tua
ingin anaknya jadi lebih cerdas dari sebelumnya.
Beberapa orang tua bangga anaknya
ber-IP tinggi karena bisa dijadikan bahan obrolan di kantor. Beberapa orang tua
senang anaknya cepat lulus supaya bisa dipamerkan dengan tetangga.
Tapi, ada juga orang tua yang tak
ambil pusing dengan IPK anaknya. Mereka woles. Asal kamu bahagia, dia ikut
bahagia juga; berapa pun IPK-mu.
6. Jika IPK Saya Rendah, Apakah Berarti Saya Bodoh?
Masih ingat pidator Erica Goldson
saat pidato kelulusan? Lulusan terbaik itu menyinggung satu hal penting.
“Saya lulus. Seharusnya saya
menganggapnya sebagai sebuah pengalaman yang menyenangkan, terutama karena saya
adalah lulusan terbaik di kelas saya. Namun, setelah direnungkan, saya tidak
bisa mengatakan kalau saya memang lebih pintar dibandingkan dengan teman-teman
saya. Yang bisa saya katakan adalah kalau saya memang adalah yang terbaik dalam
melakukan apa yang diperintahkan kepada saya dan juga dalam hal mengikuti
sistem yang ada.”
Erica percaya, untuk dapat nilai
bagus mahasiswa hanya harus melakukan hal yang sangat sederhana: turuti dosen.
Kalau bisa, beri lebih dari yang mereka minta. Dosen suruh buat satu makalah,
buatlah 3 makalah. Dosen minta Anda presentasi, berkhutbahlah! Dosen minta Anda
rajin kuliah, berangkatlah ke kampus sebelum Shubuh.
Tapi, itu pilihan yang punya
risiko juga. Jika kamu terlalu sibuk menuruti keinginan dosen, kamu justru
tidak sempat menuruti keinginanmu sendiri.
Sata mahasiswa lain naik gunung,
kamu di kos kerjakan laporan praktikum. Saat temanmu rafting di Serayu, kamu
justru buat paper. Sementara temanmu pergi ke bioskop sama pacar, kamu malah
antri di servisan komputer gara-gara laptopmu njebluk!
7. Apakah IPK Berpengaruh Terhadap Masa Depan Saya?
Tergantung kamu ingin jadi apa
kelak. Kalau mau jadi karyawan, tentu kamu perlu IPK bagus supaya bisa ikut
rekrutmen. Tapi kalau kamu pengin jadi pengusaha, yang lebih kamu perlukan
adalah kecapakan berinovasi dan mental baja.
Kalau kamu pengin jadi pengacara
dan buka firma hukum sendiri, IPK tinggi juga tidak mutlak diperlukan. Yang
lebih kamu perlukan adalah kecakapaan analisis.
Kalau kamu pengin jadi seniman,
berkreasilah. Buatlah sesuatu yang bisa dinikmati banyak orang.
8. Benarkah Perusahaan Suka Karyawan Ber-IPK Tinggi?
Beberapa perusahaan membuat
syarat ketat saat rekrutmen. Biasanya mereka hanya mengizinkan sarjana dengan
IPK di atas 2,75 untuk ikut seleksi.
Sikap perusahaan ini, menurut
beberapa analisis bukan strategi merekrut mahasiswa cerdas. Mereka hanya sedang
menghindari merekrut karyawan malas.
Sebab, IPK 2,75 itu standar. Itu
bisa diperoleh dengan cara-cara standar. Berangkat kuliah, presensi, nulis
makalah, lalu ikut ujian. Jika IPK-mu di bawah itu, ada kemungkinan kamu malas.
Itu saja.
9. Apakah IPK Membantu Kita Memperoleh Jodoh Idaman?
Menurut analisis psikologi sosial
Prof Yamato Sukamesum, jumlah cowok yang tertarik dengan cewek karena
kecerdasannya tidak lebih banyak daripada jumlah cowok yang tertarik dengan
cewek karena fisiknya.
Kalau kamu tidak percaya,
perhatianlah saat cowok ngobrol dengan cewek yang baru dikenalnya. Dia memang
berlagak memperhatikan pembicaraan, tapi percayalah, pandangan matanya akan
“luber” ke mana-mana.
Begitu pula buat cowok nih. Cewek
tidak tertarik dengan cowok pintar (apalagi sok pintar!). Lebih banyak
perempuan justru tertarik dengan laki-laki yang membuatnya nyaman.
Kamu bisa lihat sendiri di
sekolah. Populasi jomblo lebih banyak diisi oleh pecinta karya ilmiah. Cowok
yang bisa masukan bola ke keranjang setinggi 3 meter justru sering gonta-ganti
pacar kan?
10. Apakah Calon Mertua Menanyakan IPK Saat Lamaran?
Tentu saja iya (jika calon
mertuamu adalah dosen pembimbing skripsimu di kampus). Bukan cuma tanya IPK,
dia bahkan akan tanya kenapa rasio sampel dan populasi tidak representatif. Dia
akan tanya bagaimana data A dan B ditriangulasikan.
Tapi kalau calon mertuamu adalah
dai, dia tidak akan tanya IPK. Dia cuma akan memintamu shalat yang rajin.
11. Apakah IPK Tinggi Bisa Diagungkan ke Bank?
Tidak! Bank tidak peduli dengan
kepintaran orang di sekolah. Bank lebih peduli pada kepintaran orang
menghasilkan uang.
Ini memang fakta yang kej(i)am.
Tapi memang begitulah cara bank bekerja.
Mereka bisa memberi kredit 5
miliar pada juragan tanah lulusan SD, tapi susah sekali memberi kredit pada
lulusan cum laude untuk sekadar buka usaha.
12. Berapa IPK yang Diperlukan Agar Bisa Jadi Presiden?
IPK Joko Widodo saat kuliah di
Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada hanya 3,05. Tapi dia jadi presiden
negara terbesar keempat di dunia.
Presiden Amerika Serikat Barack
Obama lulus dari Jurusan Ilmu Politik Columbia University, tapi tanpa
penghargaan. Konon dia bisa diterima di Harvard Law School karena politik
afirmasi ras. Selain itu, saat itu karirnya sedang bersinar sebagai tokoh
politik berhaluan liberal.
Tersebar guyon, sarjana dengan
nilai A atau cocoknya jadi dosen, peneliti, atau ilmuwan. Kalau nilanya B cocok
jadi karyawan atau PNS. Kalau nilainya C cocok jadi pengusaha. Kalau C atau D,
cocoknya jadi politisi.
13. Jika Ditanya, Apa yang Dibawa Mati? Nilai IPK Atau Proses Mendapatkan
IPK?
Sebagai orang yang beriman, tentu
kita sudah tahu jawabannya.
14. Apakah Soekarno Pernah Nyontek Supaya Dapat IPK Bagus?
Saat sekolah Teknik di Bandung,
dia pernah bekerja sama dengan mahasiswa lain saat ujian. Dan dia menyebut
perbuatan itu sebagai “gotong royong”. Tidak percaya? Bacalah buku Penyambung
Lidah Rakyat karya Cindy Adam.
15. Pertanyaan Terpenting: Kapan Kampus Akan Berhenti Memproduksi IPK?
Segera. Tidak lama lagi orang
tidak percaya lagi dengan penilaian kuantitatif. Masyarakat ingin penilaian
akademik yang lebih otentik. Saat itulah kampus akan berhenti memproduki
angka-angka.
(Sumber : portalsemarang.com)
(Sumber : portalsemarang.com)